Strategi Hadapi Wartawan Bodrek yang Memeras di Desa dan Sekolah

Infolamogan.id Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “wartawan bodrek” atau “wartawan gorengan” menjadi momok menakutkan bagi banyak pihak, tak terkecuali di desa-desa dan institusi pendidikan di Kabupaten Lamongan. Mereka adalah orang-orang yang mengatasnamakan diri sebagai wartawan, tetapi motif utamanya bukanlah menyampaikan informasi yang valid, melainkan mencari keuntungan pribadi melalui pemerasan dan ancaman pemberitaan negatif.

Aksi mereka seringkali menyasar celah-celah kecil di pemerintahan desa atau penyelenggaraan sekolah. Mulai dari mengancam membongkar administrasi yang dianggap tidak rapi, proyek fisik desa yang dinilai bermasalah, hingga kasus-kasus kecil di sekolah yang bisa dibesar-besarkan. Lantas, bagaimana cara membedakan wartawan profesional dengan “wartawan bodrek”, dan langkah strategis apa yang dapat diambil oleh perangkat desa dan pihak sekolah untuk melindungi diri?

Mengenal Ciri-Ciri dan Modus Operandi “Wartawan Bodrek”

Langkah pertama dalam menghadapi ancaman ini adalah kemampuan untuk mengidentifikasinya. Wartawan profesional dari media terpercaya memiliki kode etik yang jelas, sementara “wartawan bodrek” biasanya menunjukkan sejumlah ciri khas:

  1. Tidak Memiliki Identitas Jelas dan Terverifikasi: Mereka seringkali enggan menunjukkan Kartu Pers (KTP) yang sah dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) atau organisasi wartawan lain yang diakui Dewan Pers. Kartu yang ditunjukkan terlihat abal-abal, tidak memiliki nomor yang dapat diverifikasi, atau bahkan hanya menggunakan nama media yang tidak jelas.

  2. Langsung Menuduh dan Memojokkan: Alih-alih melakukan wawancara yang berimbang, mereka langsung menuduh dan memojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Tujuannya adalah membuat pihak desa atau sekolah merasa tidak nyaman dan takut.

  3. Tidak Membawa Surat Tugas (ST): Wartawan profesional yang sedang meliput suatu isu biasanya membawa Surat Tugas dari redaksi media tempatnya bekerja. “Wartawan bodrek” hampir pasti tidak memilikinya.

  4. Fokus pada Pemerasan Terselubung: Percakapan mereka akan cepat bergeser dari substansi berita ke tawaran “penyelesaian secara kekeluargaan”. Mereka mungkin akan berkata, “Ini bisa kami tutup, tapi butuh biaya operasional,” atau “Daripada kami tulis panjang lebar, lebih baik Bapak/Ibu urun biaya untuk publikasi berita positif.”

  5. Bekerja Sendiri atau Kelompok Kecil: Mereka jarang datang dalam tim lengkap (wartawan dan fotografer) seperti liputan pada umumnya. Media yang mereka klaim seringkali tidak dikenal atau bahkan tidak memiliki kantor redaksi yang jelas.

Strategi Proaktif untuk Pemerintah Desa dan Sekolah

Pencegahan adalah langkah terbaik. Dengan membangun sistem yang transparan dan responsif, desa dan sekolah dapat mengurangi celah yang bisa dimanfaatkan.

  1. Tingkatkan Transparansi dan Keterbukaan Informasi:

    • Desa: Publikasikan APBDes, laporan keuangan, dan progress proyek fisik secara rutin melalui papan informasi, website desa, atau media sosial. Ketika informasi terbuka, tidak ada lagi yang bisa dijadikan “rahasia” untuk dimanfaatkan.

    • Sekolah: Umumkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), pungutan-pungutan yang sah, serta kebijakan sekolah secara jelas kepada orang tua dan wali murid.

  2. Buat Prosedur Tetap (Protap) Penerimaan Tamu:

    • Baik kantor desa maupun sekolah harus memiliki protap yang jelas. Setiap tamu yang mengaku sebagai wartawan wajib melapor, mengisi buku tamu, dan menunjukkan identitas serta surat tugas yang jelas sebelum diterima.

  3. Lakukan Pelatihan dan Sosialisasi:

    • Aparat desa dan tenaga pendidik perlu diberikan pelatihan dasar komunikasi publik dan hukum pers. Mereka perlu paham haknya untuk tidak diintimidasi dan tahu bagaimana harus bersikap ketika menghadapi tekanan.

Langkah-Langkah Konkret Saat Berhadapan Langsung

Jika “wartawan bodrek” tersebut sudah berada di depan Anda, lakukan langkah-langkah berikut dengan tenang dan percaya diri:

  1. Minta dan Verifikasi Identitas: Minta untuk melihat Kartu Pers dan Surat Tugas. Catat nama, nomor KTP, dan media yang diwakilinya. Jika ragu, Anda berhak untuk menolak wawancara hingga identitasnya jelas. Anda dapat mengecek keaslian Kartu Pers melalui situs web PWI atau organisasi wartawan lainnya.

  2. Jangan Panik dan Tetap Sopan: Tetaplah tenang dan bersikap profesional. Emosi yang tidak terkendali dapat memperkeruh situasi dan memberikan lebih banyak bahan untuk dimanipulasi. Dengarkan apa yang mereka tanyakan, tapi jangan terpancing dengan tuduhan.

  3. Rekam Setiap Interaksi: Jika memungkinkan, rekam seluruh proses interaksi, baik secara audio atau video. Hal ini akan menjadi bukti yang sangat kuat jika mereka melakukan ancaman atau pemerasan. Informasikan bahwa Anda sedang merekam untuk dokumentasi.

  4. Tolak Tegas Setiap Tawaran “Transaksi”: Begitu mereka menawarkan “penyelesaian dengan biaya”, tolak secara tegas dan jelas. Katakan, “Maaf, kami tidak melayani transaksi semacam itu. Kami hanya akan membahas substansi masalah secara profesional.”

  5. Ajak Berdiskusi dengan Hukum dan Protap: Katakan bahwa Anda akan memproses setiap laporan atau pertanyaan mereka melalui saluran hukum dan protap yang berlaku. Jika memang ada kesalahan, sampaikan bahwa institusi Anda akan memperbaikinya secara prosedural.

  6. Laporkan kepada Aparat Keamanan: Jika mereka terus memaksa, mengancam, atau jelas-jelas melakukan pemerasan, segera laporkan kepada Polisi. Bawa bukti rekaman dan catatan identitas yang telah Anda kumpulkan. Tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai pemerasan dan/atau pengancaman yang melanggar hukum, bukan bagian dari kerja jurnalistik.

Sinergi dengan Wartawan dan Media Lokal yang Profesional

Membangun hubungan baik dengan wartawan dan media lokal yang profesional adalah “tameng” yang sangat efektif.

  1. Jalin Komunikasi yang Baik: Undang media terpercaya untuk meliput kegiatan-kegiatan positif di desa dan sekolah. Bangun relasi yang sehat.

  2. Konfirmasi: Jika ada “wartawan” yang mencurigakan, Anda dapat menghubungi redaksi media yang diklaim untuk mengonfirmasi keberadaan dan statusnya.

  3. Laporkan ke Aliansi Jurnalis atau Dewan Pers: Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau Dewan Pers sangat serius menangani pemalsuan identitas dan praktik pemerasan yang merusak citra jurnalisme. Laporkan pelaku beserta buktinya.

Kesimpulan: Dari Korban Menjadi Pihak yang Berdaya

Praktik “wartawan bodrek” adalah kejahatan yang tumbuh subur di lingkungan yang tertutup dan takut. Kunci utama untuk melawannya adalah dengan membangun tata kelola yang transparan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa dan sekolah, serta berani bersikap tegas dengan didukung bukti dan prosedur yang benar.

Dengan menerapkan strategi ini, pemerintah desa dan pihak sekolah di Lamongan tidak lagi menjadi pihak yang dipojokkan, tetapi menjadi pihak yang berdaya, yang mampu membedakan antara mitra pers yang sah dan pelaku pemeras yang hanya menyamar. Mari jaga kedaulatan desa dan integritas dunia pendidikan dari praktik-praktik yang tidak terpuji.

Pos terkait

Baca juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *