Infolamongan.id – Akhir-akhir ini jagat media sosial dan forum-forum pecinta anime tengah ramai membicarakan soal Studio Ghibli, salah satu studio animasi paling legendaris dari Jepang. Perbincangan ini mencuat setelah banyak pengguna media sosial mengunggah hasil karya A.I (Artificial Intelligence) yang meniru gaya visual khas Studio Ghibli. Meski hasilnya mengesankan secara teknis, banyak penggemar justru merasa bahwa penggunaan A.I untuk meniru karya Ghibli justru mengaburkan esensi dari keindahan dan perjuangan di balik proses kreatif studio legendaris tersebut.
Ghibli dikenal dunia lewat film-film animasi dengan visual yang memanjakan mata, alur cerita yang menyentuh, serta kedalaman karakter yang membekas di hati penontonnya. Studio yang didirikan oleh Hayao Miyazaki dan Isao Takahata ini telah menghasilkan berbagai karya masterpiece seperti Spirited Away, My Neighbor Totoro, Princess Mononoke, Howl’s Moving Castle, dan Kiki’s Delivery Service.
Namun kini, berkat kemajuan teknologi kecerdasan buatan, gaya seni visual Ghibli yang dulu dianggap unik dan tidak tergantikan, kini bisa dengan mudah dibuat hanya dengan mengetikkan sebuah prompt sederhana. Hal inilah yang memicu perdebatan di kalangan seniman dan penikmat anime.
“Dulu sebelum A.I merajalela, karya-karya Studio Ghibli adalah sesuatu yang dianggap sangat berharga karena dibuat dengan kerja keras manusia, dari sketsa tangan, pewarnaan, hingga animasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Sekarang, semua itu seperti diringkas dalam beberapa detik,” ungkap seorang animator muda di media sosial X (dulu Twitter).
Penggemar merasa bahwa karya Ghibli tidak seharusnya direduksi hanya menjadi “gaya visual” yang bisa ditiru A.I. Di balik setiap film Studio Ghibli, terdapat filosofi, nilai budaya Jepang, dan kerja keras puluhan seniman yang berdedikasi tinggi. “Menggunakan A.I untuk meniru gaya Ghibli memang mudah, tapi apakah itu bisa menggantikan kehangatan, nilai moral, dan kedalaman cerita yang ada di balik filmnya?” tambahnya.
Hayao Miyazaki sendiri dikenal sebagai sosok yang skeptis terhadap teknologi. Dalam berbagai wawancara, ia menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap perkembangan animasi digital dan penggunaan A.I dalam seni. Ia menilai bahwa sentuhan manusia dalam karya seni memiliki nilai spiritual dan emosional yang tak bisa digantikan mesin.
Sementara itu, fenomena ini juga memunculkan diskusi yang lebih luas soal batas antara inovasi teknologi dan penghormatan terhadap seni tradisional. Di satu sisi, A.I membuka akses bagi siapa saja untuk menciptakan sesuatu dengan cepat. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa A.I justru menghilangkan makna dan proses kreatif yang menjadi jiwa dari karya seni itu sendiri.
Film-film Studio Ghibli bukan sekadar animasi, melainkan warisan budaya yang telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Maka tak heran jika banyak orang yang merasa karya Ghibli tak layak hanya dijadikan “prompt A.I belaka”.