Infolamongan.id – Suasana muram dan kekhawatiran mendalam menyelimuti Desa Bulutengger, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan. Warga desa ini saat ini harus menghadapi penderitaan ganda yang menggerus kualitas hidup mereka sehari-hari. Penderitaan pertama datang dari aroma busuk limbah yang tak tertahankan, terus-menerus menyesakkan napas dan mencemari udara yang mereka hirup. Penderitaan kedua, yang mungkin lebih menyakitkan secara psikologis, adalah “bau amis” dari dugaan kelambanan dan pembiaran oleh aparatur negara yang seharusnya hadir melindungi mereka. Sumber dari segala penderitaan ini diduga kuat berasal dari sebuah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi di utara Koramil setempat.
Aktivitas perusahaan ini, yang seharusnya berkontribusi pada kesehatan masyarakat, justru berbalik menjadi ancaman lingkungan. Limbah cair dari operasionalnya diduga telah berulang kali dibuang langsung ke got perkampungan, mengalir bebas dan akhirnya mencemari badan air terdekat. Dampak paling mengerikan dan paling luas jangkauannya adalah dugaan kuat telah rusaknya kualitas air sungai di wilayah tersebut. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi pembawa bencana lingkungan yang mengancam ekosistem dan kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Keluhan Warga dan Siklus Janji Palsu Perusahaan
Jeritan hati warga Bulutengger sudah berulang kali disampaikan melalui saluran-saluran yang semestinya. Mereka telah melaporkan masalah serius ini kepada Kepala Desa dan Camat setempat, berharap ada tindakan tegas yang melindungi hak-hak dasar mereka untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan layak huni. Namun, harapan itu seakan dipenuhi dengan realita yang pahit dan mengecewakan. Tanggapan dari pihak perusahaan yang diterima warga hanya berisi alasan-alasan klise yang terkesan mengalihkan perhatian, mulai dari tuduhan sabotase hingga dalih penampungan yang sudah penuh kapasitas.
Yang lebih ironis dan semakin memperparah kepedihan warga adalah pola yang terus berulang. Setelah ada janji manis dari perusahaan untuk membersihkan dan menghentikan pembuangan limbah, praktik tidak bertanggung jawab itu justru diulangi kembali setelah beberapa waktu. Siklus pencemaran, keluhan, janji, dan pencemaran ulang seolah menjadi lingkaran setan yang tak berujung dan membuat warga merasa terjebak. “Kami sudah lapor ke Kepala Desa dan Pak Camat, tapi tindak lanjutnya tidak signifikan. Dampaknya nyata, air sumur kami bau tak sedap. Kami mau lapor ke mana lagi kalau sudah begini,” ujar salah satu warga dengan nada frustrasi yang dalam, menggambarkan betapa mereka merasa terjepit dan tak tersedia lagi saluran pengaduan yang efektif.
Pelanggaran Hukum yang Nyata dan Sanksi yang Menganga
Padahal, dari perspektif hukum, tindakan yang dilakukan perusahaan ini sudah sangat jelas dan terang benderang termasuk dalam kategori Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah mengaturnya dengan sangat tegas dan detail. Pasal 104 UU PPLH secara lugas dan tanpa keraguan melarang setiap orang melakukan dumping (pembuangan) limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Pelanggaran terhadap pasal ini bukanlah pelanggaran administratif ringan, melainkan delik pidana yang ancaman hukumannya sangat serius. Pelaku bisa dihukum dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam konteks kasus Bulutengger ini, perusahaan tidak bisa lagi berlindung di balik alasan teknis semacam penampungan penuh. Pengulangan tindakan pencemaran justru menjadi cerminan nyata dari ketiadaan tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility) dan indikasi kuat pelanggaran sistematis terhadap izin lingkungan yang mungkin mereka miliki.
Tuntutan untuk Aparat: Dari Sanksi Administratif hingga Penegakan Hukum Pidana
Melihat pelanggaran yang sistematis, berulang, dan telah menimbulkan dampak nyata, pihak berwenang dituntut untuk bertindak cepat, tegas, dan tanpa kompromi. Langkah pertama yang harus segera dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lamongan adalah melakukan verifikasi mendalam terhadap izin lingkungan dan dokumen lingkungan hidup perusahaan tersebut. Jika terbukti melanggar, DLH Lamongan harus berani dan konsisten menjatuhkan sanksi administratif terberat sesuai kewenangannya, seperti Pembekuan atau bahkan Pencabutan Izin Usaha. Ini adalah bentuk hukum pertama yang harus ditegakkan sebelum naik ke tingkat penanganan yang lebih tinggi.
Sementara itu, fakta bahwa aduan warga sudah masuk hingga ke tingkat Kades dan Camat namun tidak ada tindak lanjut signifikan yang terlihat, menunjukkan adanya potensi kelalaian dalam pengawasan berjenjang. DLH Kabupaten Lamongan, sebagai garda terdepan penegak hukum administrasi di bidang lingkungan, tidak boleh lagi tinggal diam. Mandat UU PPLH sudah jelas, bahwa DLH wajib menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat dalam batas waktu tertentu. “Kapan DLH Lamongan akan mencium bau busuk limbah, bukan hanya bau birokrasi?” tanya warga secara retoris, menyiratkan kekecewaan mendalam terhadap kinerja instansi yang seharusnya menjadi ujung tombak perlindungan lingkungan.
Jika sanksi administratif ternyata tidak diindahkan oleh perusahaan, atau jika pelanggaran yang dilakukan sudah sangat berat, maka kasus ini sudah memenuhi unsur untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan pidana. Di sinilah peran Polres Lamongan menjadi krusial dan sangat dinantikan. Polres Lamongan memiliki wewenang dan memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang lingkungan hidup yang kompeten untuk menangani dugaan tindak pidana ini. Mengingat perusahaan berulang kali mengulangi perbuatannya dan dampak pencemaran telah merusak sumber air warga—yang merupakan hak dasar—pendekatan persuasif dan tegur santun sudah jelas terbukti gagal.
Pilar Penegakan Hukum yang Diam dan Harapan Warga yang Kian Pudar
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, baik Polres Lamongan maupun DLH setempat belum bisa dikonfirmasi dan juga belum terpantau mengambil langkah-langkah konkret dan terukur untuk menindaklanjuti keluhan warga Bulutengger. Keheningan respon dari kedua institusi kunci ini semakin mengukuhkan kesan “tutup mata” yang disoroti dengan pedas oleh warga.
Oleh karena itu, masyarakat mendesak dengan sangat Polres Lamongan untuk segera mengambil langkah proaktif. Koordinasi yang solid dan cepat dengan DLH harus segera dibentuk untuk memulai penyelidikan komprehensif. Tujuannya harus jelas dan tegas: menjerat pelaku kejahatan lingkungan ini dengan sanksi pidana yang setimpal, bukan sekadar denda administratif yang mungkin hanya dianggap sebagai “biaya operasional” oleh perusahaan.
Situasi di Bulutengger adalah potret nyata darurat lingkungan yang membutuhkan solusi segera dan berani. Warga Lamongan, khususnya masyarakat Bulutengger, kini hanya bisa menunggu dengan cemas respons cepat dari aparat penegak hukum dan DLH. Mereka berharap tindakan nyata diambil sebelum kerusakan lingkungan menjadi permanen dan, yang lebih parah, sebelum sisa-sisa kepercayaan publik pada supremasi hukum dan niat baik pemerintah benar-benar tergerus habis. Langkah pertama yang paling mendesak dan tidak bisa ditunda lagi adalah DLH Lamongan dan Polres Lamongan wajib segera membentuk tim terpadu untuk melakukan Verifikasi Lapangan dan Pengambilan Sampel Air secara independen guna membuktikan secara ilmiah tingkat pencemaran yang terjadi. Waktu terus berjalan, dan sungai serta kesehatan warga semakin terancam.









