Infolamongan.id – Dalam sebuah keputusan yang menyorot perhatian banyak pihak, Pengadilan Pajak Indonesia baru-baru ini mengabulkan banding yang diajukan oleh Kantor Perwakilan Dagang (KPD) Jepang terkait sengketa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15. Kasus ini berawal dari keberatan KPD Jepang atas besaran PPh Pasal 15 yang dikenakan pada transaksi ekspor mereka di Indonesia untuk Masa Desember 2022.
Latar Belakang Kasus
KPD Jepang, yang memiliki kantor perwakilan dagang di Indonesia, melakukan ekspor barang dengan nilai bruto sebesar Rp240 miliar pada Desember 2022. Sesuai ketentuan yang berlaku, atas transaksi tersebut dikenakan PPh Pasal 15 sebesar Rp888 juta. Jumlah ini dihitung berdasarkan tarif yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni tarif efektif sebesar 0,37% dari nilai ekspor bruto. Tarif ini merupakan kombinasi dari tarif PPh Badan yang saat itu masih sebesar 30% dan tarif pajak penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan Jepang.
Namun, KPD Jepang tidak sepenuhnya setuju dengan perhitungan tersebut. Mereka berpendapat bahwa tarif PPh Badan yang digunakan oleh DJP sudah tidak relevan karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPh Badan telah berubah dari 30% menjadi 22%. Dengan perubahan ini, mereka berargumen bahwa pajak yang seharusnya terutang adalah sebesar Rp715,2 juta, bukan Rp888 juta seperti yang ditetapkan oleh DJP.
Penghitungan dan Banding
Dalam perhitungan KPD Jepang, penghitungan tarif yang lebih rendah ini diperoleh dari perubahan formula yang digunakan. Berdasarkan tarif baru sebesar 22%, PPh atas penghasilan kena pajak terutang seharusnya dihitung sebagai 22% x 1% dari nilai ekspor bruto, yang menghasilkan tarif efektif 0,22%. Selain itu, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dikenakan tarif P3B sebesar 10% (tarif khusus untuk Jepang), menghasilkan tarif tambahan sebesar 0,078%. Total tarif efektif menjadi 0,298%, sehingga PPh Pasal 15 yang terutang untuk Masa Desember 2022 seharusnya sebesar Rp715,2 juta.
Meskipun demikian, keberatan yang diajukan oleh KPD Jepang ini awalnya ditolak oleh Kantor Wilayah DJP yang menaunginya. Tidak puas dengan penolakan ini, KPD Jepang kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, yang pada akhirnya mengabulkan permohonan mereka.
Putusan Pengadilan Pajak
Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam putusannya menyatakan bahwa formula perhitungan PPh Pasal 15 yang digunakan oleh DJP memang sudah tidak sesuai dengan tarif PPh Badan terbaru yang diatur dalam UU HPP. Norma Penghitungan Khusus yang digunakan untuk menghitung penghasilan neto Wajib Pajak tertentu, yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UU HPP), seharusnya merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994.
Namun, karena belum adanya pembaruan atau pencabutan Keputusan Menteri tersebut, formula perhitungan masih menggunakan tarif PPh Badan tertinggi sebesar 30%. Hal ini yang menurut Majelis Hakim perlu disesuaikan, mengingat perubahan tarif PPh Badan menjadi 22% sesuai dengan UU HPP.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menyoroti pentingnya kepastian hukum dan keselarasan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik perpajakan di lapangan. Mereka menekankan bahwa perubahan salah satu unsur dalam formula perhitungan PPh Pasal 15, seperti tarif PPh Badan, harus secara otomatis mengubah tarif efektif yang digunakan dalam penghitungan PPh terutang.
Implikasi dan Kontroversi
Putusan Pengadilan Pajak ini menimbulkan berbagai reaksi. Di satu sisi, keputusan ini dianggap sebagai langkah positif dalam memperbaiki aturan yang ada, terutama dalam konteks harmonisasi peraturan perpajakan dengan tarif pajak yang berlaku. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa keputusan ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum, terutama jika tidak segera disusul oleh pembaruan peraturan oleh DJP dan Kementerian Keuangan.
Beberapa ahli hukum dan perpajakan berpendapat bahwa meskipun Pengadilan Pajak memiliki wewenang untuk menyesuaikan tarif yang digunakan dalam penghitungan pajak, alangkah baiknya jika perubahan ini terlebih dahulu dikomunikasikan dengan instansi terkait. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya inkonsistensi dalam penerapan peraturan, yang bisa berdampak pada penerimaan pajak negara dan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Dalam konteks ini, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) juga memberikan panduan penting terkait penyalahgunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Pasal 17 UU 30/2014 mengatur bahwa keputusan atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan yang jelas, atau yang bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang.
Kesimpulan
Putusan Pengadilan Pajak yang mengoreksi tarif PPh Pasal 15 untuk KPD Jepang ini menjadi contoh penting tentang bagaimana perubahan dalam peraturan perpajakan harus diterapkan dengan cermat dan hati-hati. Ke depan, diharapkan ada koordinasi yang lebih baik antara pengadilan, DJP, dan Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa setiap perubahan tarif atau peraturan perpajakan dapat diimplementasikan dengan tepat, tanpa mengorbankan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Di kutip dari : https://www.pajak.go.id/id/artikel/menakar-putusan-majelis-hakim-pajak-atas-tarif-pasal-15-uu-pph