Militer di Pemerintahan: Dari Jerman Nazi hingga Dwifungsi ABRI, Stabilitas atau Ancaman?

Infolamongan.id – Keterlibatan militer dalam pemerintahan sering kali menimbulkan dampak besar terhadap stabilitas politik, kebijakan nasional, dan kebebasan sipil. Dua contoh yang mencolok dalam sejarah adalah Jerman sebelum dan selama Perang Dunia II, serta Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI. Masuknya militer ke ranah pemerintahan bisa membawa stabilitas dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki risiko besar, termasuk meningkatnya otoritarianisme, pembatasan hak-hak sipil, serta ketidakstabilan politik dalam jangka panjang.

Jerman dan Dominasi Militer dalam Pemerintahan

Sejak awal 1930-an, militer Jerman secara bertahap memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, terutama setelah Adolf Hitler berkuasa pada 1933. Hitler mengintegrasikan militer dalam struktur pemerintahan dan menjadikan Wehrmacht sebagai alat utama ekspansi dan dominasi Nazi. Dengan berjalannya waktu, militer terlibat langsung dalam kebijakan negara, termasuk dalam agresi ke negara lain dan penindasan politik di dalam negeri.

Dampaknya, kebijakan negara menjadi agresif dan militeristik, dengan anggaran pertahanan meningkat drastis dan kebijakan luar negeri yang provokatif. Jerman mulai melanggar perjanjian internasional, seperti Perjanjian Versailles, dengan meningkatkan kekuatan militernya secara signifikan. Peran militer yang dominan dalam kebijakan luar negeri menyebabkan konflik dengan negara-negara lain di Eropa dan akhirnya berujung pada pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939. Setelah kekalahan Jerman pada tahun 1945, dominasi militer di pemerintahan berakhir, dan negara tersebut mengalami demiliterisasi serta perubahan sistem politik secara drastis.

Dwifungsi ABRI di Indonesia pada Masa Orde Baru

Di Indonesia, peran militer dalam pemerintahan semakin kuat setelah peristiwa G30S 1965 yang membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan. Konsep Dwifungsi ABRI diperkenalkan, yang memungkinkan militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan negara tetapi juga memiliki peran dalam pemerintahan dan sosial-politik. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nasional, terutama setelah masa transisi pasca-1965 yang penuh dengan ketidakpastian politik dan ekonomi.

Selama Orde Baru, militer menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan, termasuk jabatan gubernur, bupati, hingga menteri. Peran militer juga sangat kuat dalam legislatif melalui Fraksi ABRI di DPR. Dampaknya adalah kontrol politik yang ketat dan pembatasan terhadap kebebasan sipil serta oposisi politik. Banyak aktivis, mahasiswa, dan tokoh oposisi yang mengalami tekanan, penangkapan, hingga penghilangan paksa karena dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas rezim.

Di sisi lain, stabilitas politik yang dikendalikan militer menciptakan kondisi bagi pembangunan ekonomi yang relatif stabil selama beberapa dekade. Program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah berjalan lancar karena minimnya gejolak politik. Namun, di balik keberhasilan ekonomi, pemerintahan yang terlalu didominasi oleh militer juga melahirkan korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Krisis ekonomi 1997 menjadi titik balik bagi pemerintahan Orde Baru, yang akhirnya tumbang pada 1998 setelah tekanan kuat dari gerakan reformasi. Reformasi ini menuntut perubahan besar dalam sistem politik Indonesia, termasuk penghapusan Dwifungsi ABRI dan peran militer dalam pemerintahan sipil. Sejak itu, Indonesia berusaha untuk memperkuat supremasi sipil dengan membatasi keterlibatan militer dalam politik.

Dampak Jangka Panjang dan Pelajaran dari Sejarah

Masuknya militer dalam pemerintahan sering kali membawa konsekuensi besar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam kasus Jerman, dominasi militer menyebabkan perang besar yang menghancurkan negara dan memakan jutaan korban jiwa. Sementara itu, di Indonesia, peran militer dalam pemerintahan membawa stabilitas tetapi juga membatasi kebebasan rakyat dan menciptakan pemerintahan otoriter yang bertahan selama lebih dari tiga dekade.

Sejarah menunjukkan bahwa keseimbangan antara militer dan pemerintahan sipil sangat penting untuk menjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Pengalaman Jerman dan Indonesia menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain dalam mengelola hubungan antara militer dan pemerintahan. Sistem demokrasi yang sehat harus memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendali sipil dan tidak terlibat dalam politik praktis, sehingga kebijakan negara dapat diambil berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan bukan berdasarkan kepentingan militer semata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *