Infolamongan.id – Di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan fisik dan spiritual, muncul fenomena penjualan produk seperti garam rukyah dan madu rukyah yang diklaim mampu menyembuhkan berbagai penyakit medis maupun gangguan non-medis. Ironisnya, produk-produk ini dipasarkan dengan dalih agama, menciptakan pasar yang tidak hanya luas, tapi juga rawan penyesatan.
Produk-produk ini umumnya dijual dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan garam dapur atau madu biasa, dengan tambahan label “telah dirukyah” atau “sudah dibacakan ayat-ayat suci”. Dalam promosi mereka, tidak jarang muncul janji-janji bombastis seperti dapat mengobati sihir, gangguan jin, bahkan penyakit medis seperti kanker atau stroke.
Dalam praktiknya, penjualan garam dan madu rukyah sering kali dikemas secara eksklusif melalui media sosial, ceramah agama, hingga seminar spiritual. Beberapa bahkan dikaitkan dengan tokoh-tokoh agama tertentu untuk menambah kepercayaan publik. Sayangnya, ini sering kali tidak dibarengi dengan edukasi memadai mengenai batas antara keyakinan spiritual dan pengobatan medis.
“Rukyah itu ibadah dan bentuk doa kepada Allah. Tapi ketika dikomersialisasikan secara masif dan dikaitkan dengan produk-produk tertentu tanpa bukti ilmiah yang kuat, maka ini bisa menjadi penyimpangan,” ujar Ustaz Ahmad Hadi, seorang praktisi dakwah di Jakarta.
Fenomena ini mengkhawatirkan karena menyasar masyarakat yang sedang berada dalam kondisi psikologis lemah: tengah sakit, terkena musibah, atau sedang mengalami tekanan hidup berat. Dalam kondisi seperti itu, janji kesembuhan instan dengan pendekatan spiritual menjadi sangat menggoda.
Antara Iman dan Ilmu: Batas Tipis yang Kerap Dilanggar
Dokter spesialis penyakit dalam, dr. Yulia Setiadi, juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh klaim yang tidak didukung oleh penelitian medis.
“Madu dan garam memang punya manfaat, tapi menyembuhkan penyakit berat hanya karena dibacakan doa, itu tidak ada bukti ilmiahnya. Jika ada pasien yang menunda pengobatan medis karena percaya ini, justru bisa membahayakan nyawa,” ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa kasus pasien kanker stadium awal yang lebih memilih terapi rukyah daripada menjalani kemoterapi. Akibatnya, penyakit berkembang tanpa kendali hingga memasuki fase lanjut dan sulit disembuhkan. “Agama dan ilmu pengetahuan seharusnya saling melengkapi, bukan saling menggantikan,” tegasnya.
Eksploitasi Keyakinan Masyarakat
Dalam laporan investigatif yang dilakukan oleh beberapa media lokal, ditemukan bahwa sebagian besar pelaku bisnis garam dan madu rukyah tidak memiliki latar belakang medis maupun keagamaan yang jelas. Mereka hanya memanfaatkan tren spiritual untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Beberapa bahkan menyelenggarakan pelatihan “praktisi rukyah” dengan biaya jutaan rupiah, yang kemudian mendorong peserta untuk menjadi distributor produk rukyah tertentu. Dengan sistem pemasaran berjenjang (MLM), praktik ini semakin menjauh dari esensi spiritual dan menjelma menjadi bisnis murni.
Regulasi dan Pengawasan Lemah
Hingga saat ini, belum ada regulasi khusus yang mengatur perdagangan produk-produk spiritual seperti garam rukyah atau madu rukyah. BPOM dan MUI sendiri menyatakan tidak memberikan sertifikasi atas keabsahan rukyah dalam produk makanan atau minuman.
“Kalau itu diklaim sebagai produk kesehatan, maka wajib mengantongi izin edar dari BPOM dan uji klinis. Kalau hanya label spiritual, ya seharusnya tidak boleh menjanjikan penyembuhan penyakit,” ujar juru bicara BPOM.
Di sisi lain, Kementerian Agama juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa ibadah rukyah tidak boleh dikomersialisasikan berlebihan. “Menjual doa atau ibadah dalam bentuk produk bisa mengarah pada bentuk manipulasi spiritual yang bertentangan dengan syariat,” ujar salah satu pejabat Kemenag.
Sayangnya, lemahnya penindakan membuat bisnis ini terus tumbuh subur. Banyak konsumen yang merasa tertipu, namun sulit menuntut karena produk-produk tersebut tidak pernah menjanjikan hasil secara langsung secara tertulis, melainkan hanya berupa testimoni dan klaim personal.
Testimoni Palsu dan Strategi Manipulatif
Salah satu strategi pemasaran yang sering digunakan adalah video testimoni. Dalam banyak kasus, testimoni tersebut diduga direkayasa, atau berasal dari orang-orang yang dibayar untuk mengaku “sembuh” setelah mengonsumsi produk.
Tidak jarang pula dijumpai narasi yang memanfaatkan rasa takut masyarakat: “Kalau tidak memakai garam rukyah, rumah Anda rentan gangguan jin.” atau “Madu rukyah ini adalah senjata terbaik umat Islam menghadapi sihir modern.”
Kalimat-kalimat seperti ini tidak hanya menjual produk, tapi juga membentuk ketakutan dan rasa bersalah yang berbahaya secara psikologis.
Harapan, Edukasi, dan Peran Media
Fenomena ini menunjukkan pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan, agama, dan literasi digital. Harapan akan kesembuhan dan ketenangan batin seharusnya tidak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis semata. Terlebih, agama seharusnya menjadi pelita yang membimbing umat, bukan alat untuk meraup keuntungan dari penderitaan orang lain.
Pemerintah, tokoh agama, dan media diharapkan dapat bekerja sama dalam memberikan informasi yang berimbang, mendorong praktik rukyah yang benar dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan komersial.
“Jangan menjual agama untuk dunia. Doa itu gratis. Jangan sampai karena bisnis, malah menyesatkan,” tutup Ustaz Ahmad.
Gap antara keyakinan dan ilmu pengetahuan harus dijembatani dengan bijak. Masyarakat perlu diberdayakan agar tidak mudah diperdaya, terlebih ketika nyawa dan kesehatan menjadi taruhannya.
Jika agama adalah cahaya, maka jangan biarkan cahaya itu diperdagangkan dalam botol kecil dengan harga ratusan ribu.